Lembaran
kertas usam terus menerus dibaca Aira, kertas usam yang berasal dari buku
pelajaran yang satu-satunya dia miliki. Dia terus semangat untuk belajar. Tak
terasa kini Aira sudah duduk dikelas tiga SMP. Salah satu SMP favorit yang
berada dikota Pemalang. Aira gadis elok, wajahnya yang terbilang tidak cantik
dibandingkan gadis-gadis yang lain, tapi lesung pipinya yang membuat dia manis
ketika tersenyum membuat semua orang yang melihat tertarik padanya. Suaranya
yang serak-serak basah membuat dia cepat dikenal orang.
Ujian
Sekolah telah dilaksanakan, dia mendapatkan nilai yang memuaskan. Nilainya yang
mampu menembus untuk mendaftar disekolah RSBI ditempatnya. Wali kelas Aira
menyarankan siswa-siswanya agar masuk disekolah RSBI tersebut dengan biaya Rp.
6.000.000,00 sudah mendapatkan leptop dari sana. Mendengar angka begitu
banyaknya membuat Aira tak ada niat sedikitpun untuk mendaftar disekolah itu. Biaya
yang begitu mahal membuat dia mengurungkan niatnya.
“Ai, mau daftar di SMA mana kamu?” tanya Nanda
“Aku belum tau, aku sekolah di SMP ini
saja sudah bersyukur. Tak sedikitpun aku mengeluarkan uang. tapi aku tidak tau
nasibku, aku takut orang tuaku tidak mampu membiayai sekolahku nanti. Hidup
kami yang hanya cukup buat makan.”
“Semangat dong Aira, Man Jadda Wa
Jadda.. itu kan kalimat yang sering kamu katakan padaku. Insyaalllah, Allah
akan memberikan jalan.” Tutur Nanda begitu semangat.
“Amin...”
Sekolah
mungkin hanya sekedar mimpi bagi Aira, bapaknya yang hanya bekerja menjadi
seorang guru GTT dengan gaji 100.000/bulan disekolah dasar. Gaji tersebut tidak
cukup untuk membiayai ke tiga anaknya bersekolah. Ibu Aira yang bekerja sebagai
penjual baju hanya mampu membantu biaya makan mereka sehari-hari.
“Bapak, Aira ikhlas jika Aira tidak
bersekolah” tutur Aira pada bapaknya.
“Aira, jangan seperti itu. Bapak akan
terus membiayaimu untuk sekolah sampai setinggi mungkin. Bapak rela rumah ini
bapak jual untuk membiayai anak-anak bapak bersekolah. Besuk kita pergi bersama
mendaftar di SMA yang kamu inginkan.”
“Ya, bapak” jawab Aira dengan singkat
dan segera menuju kekamarrnya sambil menahan airmatanya. Bapaknya yang begitu
sayang kepada anak-anaknya. Bapak yang rela menjual rumah demi anak-anaknya.
Aira hanya bisa menangis. Teringat cerita bapaknya dahulu yang harus bekerja
sebagai buruh panggul dan kakaknya harus rela merantau demi untuk sekolah bapak
sampai sarjana.
Esok harinya, ayunan sepeda biru terus
mengayun dengan kencang menyelusuri jalanan menuju sekolah yang diinginkan
Aira. Terpaksa bapak Aira harus mengantarkan Aira dengan sepeda buntutnya.
Motor yang selalu dipakai bapaknya harus digadaikan untuk menutup hutang ibunya
di tengkulak. Ibunya mengalami bangkrut yang begitu besar. Harus rela
menggadaikan motornya dan sudah 3 bulan ini belum dapat menebusnya.
Bapak
Aira menghentikan ayunan sepedanya, didepannya kini terpampang tulisan SMAN 05
Pemalang, sekolah Aira yang terbilang cukup favorit dikotanya. Hampir orang tua
siswa yang mengantar anak-anaknya menggunakan
mobil. Di parkiran sekolahnya hanya terjejer tiga buah sepeda termasuk sepeda
bapak Aira. meskipun seperti itu, dengan bangga bapak Aira mendaftarkan anaknya
disekolah itu. Senyum Aira terus menghiasi dirona pipinya.
Satu minggu berlalu, kini pengumuman
sudah terpampang di mading sekolahan itu. Lentik jari jemari Aira dan putaran
bola matanya mencari namanya di pengumuman itu. Sudah diduga, Aira dapat
diterima disekolah ini. tapi senyum Aira tidak lagi mengembang, dia terus
berfikir untuk membayar uang pembangunan sekolah dan atribut pakaian yang harus
dilunasinya dalam waktu tiga hari dengan jumlah Rp. 1.500.000,00. Uang itu
tidak sedikit, itu sulit sekali didapatkan dalam waktu tiga hari.
Sudah Hari kedua berjalan untuk
registrasi, tapi bapak Aira belum mendapatkan uang satu lembarpun. Untuk makan
hari inipun, Aira harus rela menjual anting-anting emasnya dan digantikan
dengan anting-anting alumunium. Aira hanya pasrah dengan keaadaannya. Dia rela
jika dia tidak dapat melanjutkan sekolahnya.
Hari ketiga, Aira mengunjungi neneknya
yang berada didesa sebelah. Nenek Aira begitu sayang padanya. Dengan wajah
senyum Aira mencium pipi neneknya. Dan segera dia pijat punggung neneknya yang
sangat dia sayangi.
“Cucuku, sekarang kamu melanjutkan di
sekolah mana?”tanya neneknya pada Aira.
“Aku tidak melanjutkan nek, sudah ku
putuskan untuk ikut bekerja dengan Vinda di Jakarta.” Jelas Aira sambil
meneteskan Airmata
“kenapa seperti itu? Kamu harus
bersekolah!” tutur nenek kaget mendengar kata-kata Aira.
“Bapak tidak punya uang nek, jadi
biarlah Aira bekerja saja.”
“Aira, kau cucu kesayanganku. Kamu
anak yang pintar dan rajin, nenek percaya kelak kamu dapat membanggakan
keluarga. Berapa biaya sekolahmu? Biar nenek membantumu.”ujar nenek dengan
lembutnya.
“Rp. 1.500.000 nek, hari ini pembayaran
terakhir.”
“baiklah, sekarang ikut nenek. Nenek
ambil dulu tabungan nenek di Bank”. Tuturnya sambil bergegas mengganti pakaian.
Dengan sepeda turun menurun pemberian
dari kakek, ku ayunkan sepada itu dengan semangatnya. Aku boncengkan nenekku ke
Bank. Uang nenekku ini merupakan tabungan uang pensiunan kakekku. Rasanya aku
sedih sekali, begitu susahnya aku ingin menuntut ilmu. Tapi aku tau, ini sebuah
perjuangan yang akan terus terukir sampai kapanpun.
Sesampainya
dibank, nenek ku segera masuk kedalam bank. Aku tunggu nenekku diluar. Tidak
lama nenekku segera mengampiriku.
“Jangan
kecewakan nenek, tuntutlah ilmu setinggi mungkin” peluknya menghangatkan
semangatku.
Diberinya
uang sebesar Rp.700.000,00 padaku. Aku masih diam,terus berfikir, uang ini
belum cukup untuk membayar sekolahku. Nenekku mengusap airmataku yang tanpa
sengaja jatuh dipipiku.
“Sudahlah,
nenek rindu senyumu cucuku. Sekarang coba kamu datang ke rumah budhemu.
Barangkali dia bisa membantumu” nasehat nenekku padaku
Aku
segera ayunkan sepedaku menuju rumah budheku yang jaraknya hampir 24 KM dari
tempatku berada. Nenek membiarkanku untuk meninggalkannya dipasar. Dia akan
pulang kerumah sendiri naik becak. Andai sepeda ini dapat mengukur kecepatan
mungkin sudah tidak dapat lagii mengukurnya. Hanya butuh waktu 20 menit aku
sudah berada didepan rumahnya. Aku segera masuk menemuaianya.
“Budhe.
Aku disuruh nenek kesini, sebenarnya aku malu sekali kesini. Budhe sudah sering
sekali membantu keluargaku.” Kataku menjelaskan
“Budhe
sudah tau maksud kedatanganmu Aira, budhe dengan senang hati akan membantumu.
Tapi maafkan budhe, budhe hanya bisa membantu Rp. 300.000,00 uang budhe baru
saja kepakai untuk biaya rumah sakit padhemu.” Tutur budhe sambil memberikan
uangnya padaku.
“Tidak
apa-apa buhde, aku sangat berterimakasih” aku cium tangan budheku.
Aku
segera pergi meninggalkan rumah budhe, dijam tanganku sudah menunjukkan pukul
12.00, sudah tidak ada waktu lagi. aku harus cepat-cepat ke sekolahan. Sebelum
sampai disekolah. Aku mampir ditelpon umum dekat sekolahku. Aku telpon bapakku
untuk segera datang ke sekolah. Tadi pagi, bapak berangkat pagi-pagi sekali
mengayuh sepedanya, dia bilang ingin kerumah bendahara sekolah ditempatnya
mengajar. Sudah tiga bulan gajinya belum dibayar. Sungguh miris gaji seorang
guru GTT.
Bapak
yang sudah mengabdi selama 24 tahun belum juga diangkat sebagai pegawai negeri.
Ini yang membuat aku benci dengan keadaan. Begitu busuknya dunia ini. Tapi aku
bangga dengan kesabaran dan semangat bapakku menjalaninya. Beliau selalu berkata
padaku bahwa keadaan ini akan luntur jika bapak melihat senyum tulus dari
anak-anak didik bapak disekolah. Ketulusan ini akan indah pada waktunya. Bukan
gaji besar yang diharapkan dari bapak, melainkan membuat anak didiknya menjadi
pintar itu yang selalu diharapkannya. Sungguh mulia sekali bapak.
Keadaan
seperti ini membuat aku ingin menjadi guru bahkan menjadi seorang dosen. Aku
ingin melanjutkan perjuangan bapak dan memperbaiki keadaan dunia pendidikan
yang sekarang ini. jangan sampai banyak guru-guru yang bernasib seperti bapak.
Setelah
menelepon bapak, ku tunggu bapak dimasjid sekolahku. Hampir satu jam aku
menunggunya. Dari jauh aku melihat sosok orang tua mengusap keringatnya dengan
ayunan sepeda yang cepat terengah-engah dan senyum kearahku. Aku langsung
meneteskan airmata, melihat sosok itu bapakku. Aku tak sanggup melihat bapakku
dengaan keadaan seperti ini. aku berjanji pada diriku sendiri suatu saat aku
akan mengajaknya jalan-jalan dengan mobil pribadiku. Dengan tergesa-gesa ku
usap airmataku, aku tak mau bapakku melihatnya. Aku senyum menghari bapak
ditempat parkir sepeda.
“Nak,
ma’afkan bapak. Hari ini bapak tidak bisa mendapatkan uang sepeserpun untuk
biaya sekolahmu.” Kata bapak dengan menagis dihadapanku.
Baru
kali ini aku melihat sosok bapak menangis, bapak yang selalu terlihat tegar
dihadapan anak-anaknya. Sosok bapak yang selalu senyum ditengah keluaganya.
Kini menangis didepan anaknya.
“sudah
bapak, Aira tidak apa-apa. Mari bapak kita temui bersama pihak sekolah.” ku
usap airmata bapak dengan sapu tanganku. Akan ku simpan sapu tangan ini sebagai
semangatku belajar. akan ku ganti sapu tangan airmata kesedihan bapak dengan
airmata kebahagiaan melihat anaknya sukses.
Langkah
kaki kami segera menuju keruang aula, dengan tegar bapak meminta belas kasihan
dari pihak sekolah, agar tetap mengizinkan anaknya untuk bersekolah disini. Dan
dengan persetujuan dari kepala sekolah aku akhirnya dapat bersekolah. Sisa uang
pembangunan dan antribut pakaian dapat aku cicil selama aku masih belajar
disini. Mungkin ini jalan yang begitu indah.
****
Sudah
hampir 3 tahun lamanya aku tak terasa sekolah di SMA ini. setiap bulannya aku
tidak perlu membayar uang SPP. Aku bahkan bisa memberikan uang kepada orang
tuaku dengan sisa beasiswa yang aku terima. Aku mendapatkan beasiswa semenjak
kelas satu.
Hari
ini disekolah ada pelajaran bahasa Indonesia, pelajaran yang paling aku sukai
diantara semua pelajaran. Mungkin karena guru yang mengajarnya begitu
bersahaja. Hari ini guruku meminta semua muridnya untuk berdiri dan menjeritkan
cita-cita yang mereka capai. Urut dari bari baris pertama menyebutkan
cita-citanya dan kini telah tiba pada giliranku. Aku hanya diam mematung.
“Kenapa
kamu Aira? Apa cita-citamu? Tanya guruku
“Aku
takut menyebutkan cita-citaku, karena aku tau tidak akan tercapai.” Jawabku
“Tepuk
tangan buat Aira” perintah guruku kepada semua siswa dikelas
Semua
siswa serentak tepuk tangan menyambut peritah guru, aku begitu kaget
melihatnya.
“Hahahahaha,
hebat sekali kamu Aira, Kamu siapa? Tuhan? Malaikat? Ingat Aira, didunia ini
tidak ada yang tidak mungkin. Terus berusaha, berusaha, berusaha dan berdo’a..
aku percaya kamu dapat mencapainya.” Katanya sambil memegag tanganku dengan
kencangnya.
Kalimat yang guruku ucapkan menembus
rongga cita-cita dan anganku. Aku menangis dan memeluk guruku.
“Ayo Aira! Sebutkan cita-citamu
sekencang-kencangnya. Kita yang disini akan menjadi saksi kesuksesanmu kelak
dan bertepuk tangan sekeras-kerasnya.” Peluk guruku semakin kencang ditubuhku.
“Aku Ingin menjadi Guru dan seorang Dosen......!!!” jerit dan
tangis Aira sampai menembus keluar ruang kelas kelas.
“Bagus Aira, cita-citamu sungguh
mulia. Ibu guru percaya kelak kamu akan mencapainya. Asalkan kamu tetap terus
berusaha...berusaha....berusaha dan berdo’a” tutur bu guru disambut tepuk
tangan semua siswa.
Cita-cita
Aira mungkin hanya mimimpi baginya. Anak seorang guru tapi tidak dapat menjadi
seorang guru. Inilah kehidupan sekarang yang terjadi. Orang-orang hanya bisa
bermimpi dalam melek matanya. Biaya sekolah seperti ingin menekek leher orang
miskin.
Berbagai
macam perguruan tinggi mempromosikan diri disekolahnya. Teman-teman Aira sudah
mempersiapkan lembaran-lembaran pendaftaran keperguruan tinggi yang mereka
idam-idamkan. Aira hanya sering mengurung dirinya didalam kelas. Dia sibukkan
diri membaca buku dan bercanda ria bersama sahabatnya Mardi dan Abdul. Kedua
Sahabatnya itu akan segera meninggalkan Aira, Mardi yang berniat melanjutkan
sekolah disalah satu perguruan tinggi dikota Semarang untuk menjadi seorang
guru sedangkan Abdul melanjutkan sekolah untuk menjadi seorang dokter. Begitu
hebat kedua sahabatnya. Kedua sahabatnya selalu menyemangati Aira. Aira ingin
bersama lagi dengan kedua sahabatnya menuntut ilmu dikota Semarang.
Hari
ini Aira pulang sekolah lebih cepat dari biasanya. Aira tidak ingin
mendengarkan promosi-promosi lagi dari berbagai macam perguruan tinggi yang
datang kesekolahnya.
“Kenapa hari ini pulang lebih cepat
Aira?” tanya ibunya
“Dibubarkan bu, ada rapat” jawab Aira
“Oh, ya sudah. Lekas masuk kekamar dan
ganti baju dan bantu ibu menjaga toko. Ibu mau pergi kesekolah bapakmu
sebentar.” Perintah ibunya
Aira
lekas menuju kamarnya dan berganti baju. Segera dia langkahkan kakinya ke toko.
dirapikannya baju-baju di toko ibunya. Tanpa sengaja diantara baju-baju
tersebut terdapat amplop besar berwarna cokelat kiriman dari dinas pendidikan.
Aira penasaran dengan isi amplop tersebut. Dibukanya amplop itu. Aira baca
tulisan didalamnya. Sungguh kaget sekali Aira ketika membaca isi amplop
tersebut. Ternyata isinya mengatakan bahwa bapak Aira diterima menjadi pegawai
negeri.
Lemas
sekali tubuh Aira sampai tidak sadar kertas itu sudah terjatuh kelantai. Aira
kontan saja menangis. Ini seperti mimpi. Setelah 27 tahun lamanya bapak Aira mengabdi
akhirnya diangkat juga menjadi pegawai negeri meski hanya diakui masa
pengabdiannya hanya 4 tahun. Tapi tidak apalah, yang terpenting ini sangat
membantu kehidupan keluarga Aira. Dan ini mimpi yang selalu ditunggu-tunggu
keluarga Aira.
Bapak
dan ibu Aira pulang kerumah secara bersamaan. Ternyata hari ini bapak harus segera
melengkapi perlengkapan administrasi di dinas pendidikan. Bapak bersama ibu
bergegas menuju ke dinas pendidikan setempat. Aku kini yang bertugas mengurus
toko dan kedua adikku.
Sore
hari bapak dan ibu baru pulang, meski badan mereka kelihatan leleah tapi senyum
mereka terus terpancar. Apalagi bapak, baru kali ini aku melihat senyumnya yang
begitu bebas.
Bersambung......
Bersambung......