Selasa, 12 Februari 2013

Lentik Jemari sang debu pesisir


Lembaran kertas usam terus menerus dibaca Aira, kertas usam yang berasal dari buku pelajaran yang satu-satunya dia miliki. Dia terus semangat untuk belajar. Tak terasa kini Aira sudah duduk dikelas tiga SMP. Salah satu SMP favorit yang berada dikota Pemalang. Aira gadis elok, wajahnya yang terbilang tidak cantik dibandingkan gadis-gadis yang lain, tapi lesung pipinya yang membuat dia manis ketika tersenyum membuat semua orang yang melihat tertarik padanya. Suaranya yang serak-serak basah membuat dia cepat dikenal orang.
Ujian Sekolah telah dilaksanakan, dia mendapatkan nilai yang memuaskan. Nilainya yang mampu menembus untuk mendaftar disekolah RSBI ditempatnya. Wali kelas Aira menyarankan siswa-siswanya agar masuk disekolah RSBI tersebut dengan biaya Rp. 6.000.000,00 sudah mendapatkan leptop dari sana. Mendengar angka begitu banyaknya membuat Aira tak ada niat sedikitpun untuk mendaftar disekolah itu. Biaya yang begitu mahal membuat dia mengurungkan niatnya.
          “Ai, mau daftar di SMA mana kamu?” tanya Nanda
          “Aku belum tau, aku sekolah di SMP ini saja sudah bersyukur. Tak sedikitpun aku mengeluarkan uang. tapi aku tidak tau nasibku, aku takut orang tuaku tidak mampu membiayai sekolahku nanti. Hidup kami yang hanya cukup buat makan.”
          “Semangat dong Aira, Man Jadda Wa Jadda.. itu kan kalimat yang sering kamu katakan padaku. Insyaalllah, Allah akan memberikan jalan.” Tutur Nanda begitu semangat.
          “Amin...”
Sekolah mungkin hanya sekedar mimpi bagi Aira, bapaknya yang hanya bekerja menjadi seorang guru GTT dengan gaji 100.000/bulan disekolah dasar. Gaji tersebut tidak cukup untuk membiayai ke tiga anaknya bersekolah. Ibu Aira yang bekerja sebagai penjual baju hanya mampu membantu biaya makan mereka sehari-hari.
          “Bapak, Aira ikhlas jika Aira tidak bersekolah” tutur Aira pada bapaknya.
          “Aira, jangan seperti itu. Bapak akan terus membiayaimu untuk sekolah sampai setinggi mungkin. Bapak rela rumah ini bapak jual untuk membiayai anak-anak bapak bersekolah. Besuk kita pergi bersama mendaftar di SMA yang kamu inginkan.”
          “Ya, bapak” jawab Aira dengan singkat dan segera menuju kekamarrnya sambil menahan airmatanya. Bapaknya yang begitu sayang kepada anak-anaknya. Bapak yang rela menjual rumah demi anak-anaknya. Aira hanya bisa menangis. Teringat cerita bapaknya dahulu yang harus bekerja sebagai buruh panggul dan kakaknya harus rela merantau demi untuk sekolah bapak sampai sarjana.
          Esok harinya, ayunan sepeda biru terus mengayun dengan kencang menyelusuri jalanan menuju sekolah yang diinginkan Aira. Terpaksa bapak Aira harus mengantarkan Aira dengan sepeda buntutnya. Motor yang selalu dipakai bapaknya harus digadaikan untuk menutup hutang ibunya di tengkulak. Ibunya mengalami bangkrut yang begitu besar. Harus rela menggadaikan motornya dan sudah 3 bulan ini belum dapat menebusnya.
Bapak Aira menghentikan ayunan sepedanya, didepannya kini terpampang tulisan SMAN 05 Pemalang, sekolah Aira yang terbilang cukup favorit dikotanya. Hampir orang tua siswa  yang mengantar anak-anaknya menggunakan mobil. Di parkiran sekolahnya hanya terjejer tiga buah sepeda termasuk sepeda bapak Aira. meskipun seperti itu, dengan bangga bapak Aira mendaftarkan anaknya disekolah itu. Senyum Aira terus menghiasi dirona pipinya.
          Satu minggu berlalu, kini pengumuman sudah terpampang di mading sekolahan itu. Lentik jari jemari Aira dan putaran bola matanya mencari namanya di pengumuman itu. Sudah diduga, Aira dapat diterima disekolah ini. tapi senyum Aira tidak lagi mengembang, dia terus berfikir untuk membayar uang pembangunan sekolah dan atribut pakaian yang harus dilunasinya dalam waktu tiga hari dengan jumlah Rp. 1.500.000,00. Uang itu tidak sedikit, itu sulit sekali didapatkan dalam waktu tiga hari.
          Sudah Hari kedua berjalan untuk registrasi, tapi bapak Aira belum mendapatkan uang satu lembarpun. Untuk makan hari inipun, Aira harus rela menjual anting-anting emasnya dan digantikan dengan anting-anting alumunium. Aira hanya pasrah dengan keaadaannya. Dia rela jika dia tidak dapat melanjutkan sekolahnya.
          Hari ketiga, Aira mengunjungi neneknya yang berada didesa sebelah. Nenek Aira begitu sayang padanya. Dengan wajah senyum Aira mencium pipi neneknya. Dan segera dia pijat punggung neneknya yang sangat dia sayangi.
          “Cucuku, sekarang kamu melanjutkan di sekolah mana?”tanya neneknya pada Aira.
          “Aku tidak melanjutkan nek, sudah ku putuskan untuk ikut bekerja dengan Vinda di Jakarta.” Jelas Aira sambil meneteskan Airmata
          “kenapa seperti itu? Kamu harus bersekolah!” tutur nenek kaget mendengar kata-kata Aira.
          “Bapak tidak punya uang nek, jadi biarlah Aira bekerja saja.”
          “Aira, kau cucu kesayanganku. Kamu anak yang pintar dan rajin, nenek percaya kelak kamu dapat membanggakan keluarga. Berapa biaya sekolahmu? Biar nenek membantumu.”ujar nenek dengan lembutnya.
          “Rp. 1.500.000 nek, hari ini pembayaran terakhir.”
          “baiklah, sekarang ikut nenek. Nenek ambil dulu tabungan nenek di Bank”. Tuturnya sambil bergegas mengganti pakaian.
          Dengan sepeda turun menurun pemberian dari kakek, ku ayunkan sepada itu dengan semangatnya. Aku boncengkan nenekku ke Bank. Uang nenekku ini merupakan tabungan uang pensiunan kakekku. Rasanya aku sedih sekali, begitu susahnya aku ingin menuntut ilmu. Tapi aku tau, ini sebuah perjuangan yang akan terus terukir sampai kapanpun.
Sesampainya dibank, nenek ku segera masuk kedalam bank. Aku tunggu nenekku diluar. Tidak lama nenekku segera mengampiriku.
“Jangan kecewakan nenek, tuntutlah ilmu setinggi mungkin” peluknya menghangatkan semangatku.
Diberinya uang sebesar Rp.700.000,00 padaku. Aku masih diam,terus berfikir, uang ini belum cukup untuk membayar sekolahku. Nenekku mengusap airmataku yang tanpa sengaja jatuh dipipiku.
“Sudahlah, nenek rindu senyumu cucuku. Sekarang coba kamu datang ke rumah budhemu. Barangkali dia bisa membantumu” nasehat nenekku padaku
Aku segera ayunkan sepedaku menuju rumah budheku yang jaraknya hampir 24 KM dari tempatku berada. Nenek membiarkanku untuk meninggalkannya dipasar. Dia akan pulang kerumah sendiri naik becak. Andai sepeda ini dapat mengukur kecepatan mungkin sudah tidak dapat lagii mengukurnya. Hanya butuh waktu 20 menit aku sudah berada didepan rumahnya. Aku segera masuk menemuaianya.
“Budhe. Aku disuruh nenek kesini, sebenarnya aku malu sekali kesini. Budhe sudah sering sekali membantu keluargaku.” Kataku menjelaskan
“Budhe sudah tau maksud kedatanganmu Aira, budhe dengan senang hati akan membantumu. Tapi maafkan budhe, budhe hanya bisa membantu Rp. 300.000,00 uang budhe baru saja kepakai untuk biaya rumah sakit padhemu.” Tutur budhe sambil memberikan uangnya padaku.
“Tidak apa-apa buhde, aku sangat berterimakasih” aku cium tangan budheku.
Aku segera pergi meninggalkan rumah budhe, dijam tanganku sudah menunjukkan pukul 12.00, sudah tidak ada waktu lagi. aku harus cepat-cepat ke sekolahan. Sebelum sampai disekolah. Aku mampir ditelpon umum dekat sekolahku. Aku telpon bapakku untuk segera datang ke sekolah. Tadi pagi, bapak berangkat pagi-pagi sekali mengayuh sepedanya, dia bilang ingin kerumah bendahara sekolah ditempatnya mengajar. Sudah tiga bulan gajinya belum dibayar. Sungguh miris gaji seorang guru GTT.
Bapak yang sudah mengabdi selama 24 tahun belum juga diangkat sebagai pegawai negeri. Ini yang membuat aku benci dengan keadaan. Begitu busuknya dunia ini. Tapi aku bangga dengan kesabaran dan semangat bapakku menjalaninya. Beliau selalu berkata padaku bahwa keadaan ini akan luntur jika bapak melihat senyum tulus dari anak-anak didik bapak disekolah. Ketulusan ini akan indah pada waktunya. Bukan gaji besar yang diharapkan dari bapak, melainkan membuat anak didiknya menjadi pintar itu yang selalu diharapkannya. Sungguh mulia sekali bapak.
Keadaan seperti ini membuat aku ingin menjadi guru bahkan menjadi seorang dosen. Aku ingin melanjutkan perjuangan bapak dan memperbaiki keadaan dunia pendidikan yang sekarang ini. jangan sampai banyak guru-guru yang bernasib seperti bapak.
Setelah menelepon bapak, ku tunggu bapak dimasjid sekolahku. Hampir satu jam aku menunggunya. Dari jauh aku melihat sosok orang tua mengusap keringatnya dengan ayunan sepeda yang cepat terengah-engah dan senyum kearahku. Aku langsung meneteskan airmata, melihat sosok itu bapakku. Aku tak sanggup melihat bapakku dengaan keadaan seperti ini. aku berjanji pada diriku sendiri suatu saat aku akan mengajaknya jalan-jalan dengan mobil pribadiku. Dengan tergesa-gesa ku usap airmataku, aku tak mau bapakku melihatnya. Aku senyum menghari bapak ditempat parkir sepeda.
“Nak, ma’afkan bapak. Hari ini bapak tidak bisa mendapatkan uang sepeserpun untuk biaya sekolahmu.” Kata bapak dengan menagis dihadapanku.
Baru kali ini aku melihat sosok bapak menangis, bapak yang selalu terlihat tegar dihadapan anak-anaknya. Sosok bapak yang selalu senyum ditengah keluaganya. Kini menangis didepan anaknya.
“sudah bapak, Aira tidak apa-apa. Mari bapak kita temui bersama pihak sekolah.” ku usap airmata bapak dengan sapu tanganku. Akan ku simpan sapu tangan ini sebagai semangatku belajar. akan ku ganti sapu tangan airmata kesedihan bapak dengan airmata kebahagiaan melihat anaknya sukses.
Langkah kaki kami segera menuju keruang aula, dengan tegar bapak meminta belas kasihan dari pihak sekolah, agar tetap mengizinkan anaknya untuk bersekolah disini. Dan dengan persetujuan dari kepala sekolah aku akhirnya dapat bersekolah. Sisa uang pembangunan dan antribut pakaian dapat aku cicil selama aku masih belajar disini. Mungkin ini jalan yang begitu indah.
                                                ****
Sudah hampir 3 tahun lamanya aku tak terasa sekolah di SMA ini. setiap bulannya aku tidak perlu membayar uang SPP. Aku bahkan bisa memberikan uang kepada orang tuaku dengan sisa beasiswa yang aku terima. Aku mendapatkan beasiswa semenjak kelas satu.

Hari ini disekolah ada pelajaran bahasa Indonesia, pelajaran yang paling aku sukai diantara semua pelajaran. Mungkin karena guru yang mengajarnya begitu bersahaja. Hari ini guruku meminta semua muridnya untuk berdiri dan menjeritkan cita-cita yang mereka capai. Urut dari bari baris pertama menyebutkan cita-citanya dan kini telah tiba pada giliranku. Aku hanya diam mematung.
“Kenapa kamu Aira? Apa cita-citamu? Tanya guruku
“Aku takut menyebutkan cita-citaku, karena aku tau tidak akan tercapai.” Jawabku
“Tepuk tangan buat Aira” perintah guruku kepada semua siswa dikelas
Semua siswa serentak tepuk tangan menyambut peritah guru, aku begitu kaget melihatnya.
“Hahahahaha, hebat sekali kamu Aira, Kamu siapa? Tuhan? Malaikat? Ingat Aira, didunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Terus berusaha, berusaha, berusaha dan berdo’a.. aku percaya kamu dapat mencapainya.” Katanya sambil memegag tanganku dengan kencangnya.
          Kalimat yang guruku ucapkan menembus rongga cita-cita dan anganku. Aku menangis dan memeluk guruku.
          “Ayo Aira! Sebutkan cita-citamu sekencang-kencangnya. Kita yang disini akan menjadi saksi kesuksesanmu kelak dan bertepuk tangan sekeras-kerasnya.” Peluk guruku semakin kencang ditubuhku.
          “Aku Ingin menjadi Guru dan seorang Dosen......!!!” jerit dan tangis Aira sampai menembus keluar ruang kelas kelas.
          “Bagus Aira, cita-citamu sungguh mulia. Ibu guru percaya kelak kamu akan mencapainya. Asalkan kamu tetap terus berusaha...berusaha....berusaha dan berdo’a” tutur bu guru disambut tepuk tangan semua siswa.
Cita-cita Aira mungkin hanya mimimpi baginya. Anak seorang guru tapi tidak dapat menjadi seorang guru. Inilah kehidupan sekarang yang terjadi. Orang-orang hanya bisa bermimpi dalam melek matanya. Biaya sekolah seperti ingin menekek leher orang miskin.
Berbagai macam perguruan tinggi mempromosikan diri disekolahnya. Teman-teman Aira sudah mempersiapkan lembaran-lembaran pendaftaran keperguruan tinggi yang mereka idam-idamkan. Aira hanya sering mengurung dirinya didalam kelas. Dia sibukkan diri membaca buku dan bercanda ria bersama sahabatnya Mardi dan Abdul. Kedua Sahabatnya itu akan segera meninggalkan Aira, Mardi yang berniat melanjutkan sekolah disalah satu perguruan tinggi dikota Semarang untuk menjadi seorang guru sedangkan Abdul melanjutkan sekolah untuk menjadi seorang dokter. Begitu hebat kedua sahabatnya. Kedua sahabatnya selalu menyemangati Aira. Aira ingin bersama lagi dengan kedua sahabatnya menuntut ilmu dikota Semarang.
Hari ini Aira pulang sekolah lebih cepat dari biasanya. Aira tidak ingin mendengarkan promosi-promosi lagi dari berbagai macam perguruan tinggi yang datang kesekolahnya.
          “Kenapa hari ini pulang lebih cepat Aira?” tanya ibunya
          “Dibubarkan bu, ada rapat” jawab Aira
          “Oh, ya sudah. Lekas masuk kekamar dan ganti baju dan bantu ibu menjaga toko. Ibu mau pergi kesekolah bapakmu sebentar.” Perintah ibunya
Aira lekas menuju kamarnya dan berganti baju. Segera dia langkahkan kakinya ke toko. dirapikannya baju-baju di toko ibunya. Tanpa sengaja diantara baju-baju tersebut terdapat amplop besar berwarna cokelat kiriman dari dinas pendidikan. Aira penasaran dengan isi amplop tersebut. Dibukanya amplop itu. Aira baca tulisan didalamnya. Sungguh kaget sekali Aira ketika membaca isi amplop tersebut. Ternyata isinya mengatakan bahwa bapak Aira diterima menjadi pegawai negeri.
Lemas sekali tubuh Aira sampai tidak sadar kertas itu sudah terjatuh kelantai. Aira kontan saja menangis. Ini seperti mimpi. Setelah 27 tahun lamanya bapak Aira mengabdi akhirnya diangkat juga menjadi pegawai negeri meski hanya diakui masa pengabdiannya hanya 4 tahun. Tapi tidak apalah, yang terpenting ini sangat membantu kehidupan keluarga Aira. Dan ini mimpi yang selalu ditunggu-tunggu keluarga Aira.
Bapak dan ibu Aira pulang kerumah secara bersamaan. Ternyata hari ini bapak harus segera melengkapi perlengkapan administrasi di dinas pendidikan. Bapak bersama ibu bergegas menuju ke dinas pendidikan setempat. Aku kini yang bertugas mengurus toko dan kedua adikku.
Sore hari bapak dan ibu baru pulang, meski badan mereka kelihatan leleah tapi senyum mereka terus terpancar. Apalagi bapak, baru kali ini aku melihat senyumnya yang begitu bebas.

Bersambung......